• DISSAMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION


      PENGERTIAN  
    Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI dn paru-paru. Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis.
    Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
      
    ETIOLOGI
    Hal – hal yang dapat memyebabkan DIC :
    -  Fetus mati dalam kandungan
    -  Abortus
    -  Trauma Bisa ular
    -  Syok
    -  Infeksi
    -  Anoksemia
    -  Asidosis
    -  Perubahan suhu
    -  Autoimun
    -  Sirkulasi extrakorporeal
    -  Keganasan
    -  Hemolisis
    Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
    -  Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
    -  Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
    -  Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
    Sedangkan orang – orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC: :
    -  Penderita cedera kepala yang hebat
    -  Pria yang telah menjalani pembedahan prostate
    -  Terkena gigitan ular berbisa
    DIC merupakan mekanisme perantara berbagai penyakit dengan gejala klinis tertentu. Berbagai penyakit dapat mencetuskan DIC fulminan atau derajat rendah seperti di bawah ini:
    A. Penyakit yang disertai DIC fulminan
    1. Bidang obstetric: emboli cairan amnion, abrupsi plasenta, eklamsia, abortus
    2. Bidang hematologi: reaksi transfusi darah, hemolisis berat, transfuse massif, leukemia
    3. Infeksi
      • Septicemia, gram negative (endotoksin), gram negative (mikro polisakarida)
      • Virus : HIV, hepatitis, varisela, virus sitomegalo, demam dengue
      • Parasit : Malaria
      • Trauma
      • Penyakit hati akut : gagal hati akut ,ikterus obstruktif
      • Luka bakar
      • Penyakit ginjal menahun
      • Peradangan
      • Penyakit hati menahun
    B.     Penyakit di sertai KID derajat
    •       Keganasan
    •       Penyakit kardiovaskular
    •       Penyakit autoimun
    •       Penyakit ginjal menahun
    •       Peradangan
    •       Graft versus host disease
    •       Penyakit hati menahun
    INSIDEN KASUS
    ·         Frekuensi
    DIC bisa terjadi pada 30%-50% pasien dengan sepsis. Selain itu diperkirakan DIC terjadi 1% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Di Amerika Serikat kira-kira terjadi 18.000 kasus DIC pada tahun 1994.
    ·         Mortalitas dan Morbiditas
    Mortalitas dan morbiditas tergantung dari tingkat keparahan penyakit yang diderita dan juga tingkat keparahan koagulopati. Tanda yang konkrit dan spesifik dari DIC sulit diamati, dibawah ini bebrerapa contoh tingkat kematian pada penyakit yang disertai DIC:
    o   Idiopathic purpura fulminans yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian 18%
    o   Infeksi pada aborsi yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian 50%
    o   Pada keadaan trauma, pasien dengan DIC mempunyai angka kematian 2 kali lebih tinggi daripada yang tidak berhubungn dengan DIC.
    o   Pada studi terbaru yang dilakukan oleh Japanese Association for Acute Medicine (JAAM), krietria diagnosis untuk DIC memperlihatkan bahwa pasien sepsis dengan DIC mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada pasien trauma dengan DIC (34,7% : 10.5%)
    ·         Jenis Kelamin
          Insiden kejadian sama antara laki-laki dan perempuan.
    PATOGENESIS
    Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut. Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma  menghambat pembentukan plasmin dari plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.
    PATOFISIOLOGI
     Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ). sebenarnya bukanlah nama diagnosa suatu penyakit dan Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ). terjadi selalu mengindikasikan adanya penyakit yang menjadi penyebabnya. Ada banyak sekali penyebab terjadinya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ). Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ). ditandai dengan aktivasi sistemik dari system pembekuan darah, yang menyebabkan reaksi generasi dan deposisi (pengendapan ) dari fibrin, menimbulkan thrombus microvaskuler di organ-organ tubuh sehingga menyebabkan terjadinya multi organ failure.
    Emboli cairan amnion yang disertai Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ). sering mengancam jiwa dan dapat menyebabkan kematian. Gejala DIC. karena emboli cairan amnion yaitu gagal nafas akut, dan renjatan. Pada sindrom mati janin dalam uterus yang lebih dari 5 minggu yang ditemukan DIC. pada 50% kasus. Biasanya pada permulaan hanya DIC. derajat rendah dan kemudian dapat berkembang cepat menjadi DIC fulminan.Dalam keadaan seperti ini nekrosis jaringan janin, dan enzim jaringan nekrosis tersebut akan masuk dalam sirkulasi ibu dan mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis,dan terjadi DIC fulminan.
    Pada kehamilan dengan eklamsia ditemukan DIC derajat rendah dan sering pada organ khusus seperti ginjal dan mikrosirkulasi plasenta. Namun perlu diingat bahwa 10-15% DIC derajat rendah dapat berkembang menjadi DIC fulminan. Abortus yang diinduksi dengan garam hipertonik juga sering disertai DIC derajat rendah, sampai abortus komplet,namun kadang dapt menjadi fulminan.
    Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu sistem koagulasi sehingga terjadi DIC. Akibat hemolisis,sel darah merah (SDM) melepaskan adenosine difosfat (ADP) atau membrane fosfolipid SDM yang mengaktifkan sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan menyebabkan DIC. Pada septikimia DICterjasi akibat endotoksin atau mantel polisakarida bakteri memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan factor F XII menjadi FXIIa,menginduksi pelepasan reaksi trombosit,menyebabkan endotel terkelupas yang dilanjutkan aktivasi F XII men F X-Xia,dan pelepasan materi prokoagulan dari granulosit dan semuanya ini dapat mencetuskan DIC.Terakhir dilaporkan bahwa organism gram positif dapat menyebabkan DIC dengan mekanisme seperti endotoksin, yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mukopolisakarida menginduksi DIC.
    Beberapa mekanisme yang terjadi secara terus menerus pada DIC, penyebab utama terjadinya deposisi fibrin adalah
    1. Faktor jaringan, penyebab terjadinya generasi trombin
    2. Kegagalan fisiologis mekanisme antikoagulan, seperti sistem antithrombin dan sistem protein C yang menurunkan keseimbangan generasi thrombin.
    3. Gagalnya fibrin removal yang menyebabkan penurunan sistem fibrinolitik, perburukan thrombolisis endogenous terutama disebabkan oleh tingginya tingkat sirkulasi dari fibrinolitik, aktifitas fibrinolitic meningkat dan menyebabkan perdarahan.

    a. Consumptive Coagulopathy
    Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
    Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
    Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.
    b. Depresi  Prokoagulan
    DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.
    Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.
    Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
    Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
    Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.
    c. Defek Fibrinolisis
    Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.
    MANIFESTASI KLINIS
    Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ yang terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak dapat diamati.
    Manifestasi klinis bergantung pada penyakit dasar, akut atau kronik, dan proses patologis yang mana lebih utama,apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis hemoragik. Kedua proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam waktu yang bersamaan.
    Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat terlihat sebagai petekie, ekimosis,perdarahan gusi,hemoptisis,dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular dapat berupa kesadaran menurun sampai koma,gagal ginjal akut,gagal napas akut dan iskemia fokal,dan gangrene pada kulit.
    Mengatasi perdarahan pada Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis pada mikrovaskular yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ yang menyebabkan
    Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering berhubungan langsung dengan kondisi penyebabnya, adanya riwayat perdarahan dan hipovolume seperti perdarahan gastro intestinal dan gejala dan tanda trombosis pada pembuluh darah yang besar seperti DVT dan trombosis mikrovaskuler seperti gagal ginjal, perdarahan dari setidaknya 3 daerah yang tidak berhubungan langsung dengan DIC seperti :
    ·         Epistaksis
    • Perdarahan gusi
    • Perdarahan Mukosal
    • Batuk
    • Dyspnea
    • Bingung, disorientasi
    • Demam
    Kondisi yang dapat terjadi DIC antara lain :
    1.      Sepsis atau infeksi yang berat
    1. Trauma ( Polytrauma, neurotrauma, emboli lemak )
    2. Kerusakan organ ( Pankreatitis berat )
    3. Malignancy ( Penyakit yang kondisinya buruk )
    o   Tumor padat
    o   Myeloproliferative/ lymphoproliferatif malignan
    1. Kehamilan yang sulit
    o   Emboli caitran amniotik
    o   Plasenta abrupsio
    1. Kelainan Vaskuler
    o   Kasaback-mereritt syndrom
    o   Aneurisma vaskuler yang besar
    1. Kerusakan hepar berat
    2. Reaksi toxic atau imunologi yang berat
    o   Digigit ular
    o   Penggunaan obat-obatan terlarang
    o   Reaksi transfusi
    o   Kegagalan tranplantasi
    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 
                DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.
    Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:
    ·         D-dimer
    Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan mengukur fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih tinggi dibanding dengan keadaan normal.
    ·         Prothrimbin Time (PTT)
    Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau factor pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.
    ·         Fibrinogen
    Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah. Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses pemnekuan darah. Tingkant fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.
    ·         Complete Blood Count (CBC)
    CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC, namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis untuk menegakkan diagnose.
    ·         Hapusan Darah
    Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarnai dengan pewarna khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.
    Skor Tes Pembekuan
    Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
    (International Society on thrombosis and Hemostasis)
    Skor atau Skala
    0
    1
    2
    3
    Jumlah Platelet
    (x109/L)
    >100
    <100
    <50
    PT (detik)
    <3
    >3 but <6
    ≥6
    Fibrinogen(g/L)
    >1
    <1
    Fibrin-related markers* (meningkat)
    Tidak meningkat
    Meningkat sedang
    Peningkatan yang tajam
    TOTAL
    Jika ≥5, overt DIC- tes diulang setiap hari. Jika <5, non-overt DIC – tes diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.
    *jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.
    .       Plasmin
    Pemeriksaan system fibrinolisis yang tersedia sekarang dalam laboratorium klinis yang berguna pada KID yaitu pemeriksaan plasminogen dan plasmin. Fibrinolisi sekunder merupakan respon tubuh untuk mencegah thrombosis, dalam upaya tubuh menghindarkan kerusakan organ yang ireversibel pada pasien dengan KID. Jika terjadi gangguan system fibrinolisi, morbiditas dan mortalitas akan meningkat sebagai akibat terjadinya kerusakan organ. Aktivasi system fibrinolisis dapat dinilai dengan mengukur kadar plasminogen dan plasmin dengan teknik subtract sintesis. Masa lisis euglobulin memberikan sedikit atau kurang bermanfaat untuk menilai system fibrinolisis pada KID.
    .     Trombosit
    Trombositopenia khas pada KID. Jumlah trombosit bervariasi mulai dari yang paling rendah 2000-3000 sampai lebih dari 100000/mm3. Pada kebanyakan pasien KID trombosit yang diperiksa dalam sediaan apus dari tepi pada umumnya jumlahnya rata-rata 60.000/mm3.
    Uji fungsi trombosit seperti masa perdarahan, agregasi trombosit biasanya terganggu pada KID. Gangguan ini disebabkan FDP menyelubungi membran trombosit. Jadi tidak ada  alasan dan tidak perlu melakukan uji fungsi trombosit pada KID. Factor 4 trombosit (PF4) dan β – tromboglobulin merupakn petanda terjadinya reaktivasi dan penglepasan trombosit, dan biasanya meningkat pada KID. Bila pada KID kadar PFdan β-tromboglobulin meningkat dan kemudian menurun sesudah pengobatan , hal ini menunjukkan pengobatan berhasil. Meningkatnya PF4 dan β- tromboglobulin pada KID selain merupakan bukti tidak langsung adanya aktivitas prokoagulan, juga bermanfaat dalam pemantauan pengobatan.
    Diagnosis laboratorium KID dapat dibagi dalam 4 kelompok : (1) aktifasi system prokoagulan, (2) aktivasi system fibrinolisis, (3) konsumsi penghambat,(4) kerusakan atau kegagalan organ.
    1.      Aktivasi system prokoagulan meliputi, protrombin, fragmen  1+ 2, fibrinopeptida A, Fibrinopeptida B, kompleks thrombin – anti thrombin (TAT), dan D-Dimer. semuanya ini meningkatkan pada KID.
    2.      Aktivasi system fibrinolisis meliputi D-Dimer, FDP, Plasmin dan plasmin antiplasmin kompleks (PAP), semuanya meningkat pada KID.
    3.      Konsumsi penghambat ada yang menimgkat dan ada yang menurun. Yang meningkat : kompleks TAT, kompleks PAP. Yang menurun L anti thrombin α2 antiplasmin, heparin, kofaktor II, protein C & S.
    4.      Kerusakan ataau kegagalan organ. Yang meningkat adalah laktat dehidrogenase, kreatinin, dan menurun pH dan PaO2.
    Untuk menentukan diagnosis KID berdasarkan criteria laboratorium tersebut diperlukan satu kelainan dari kelompok 1,2 dan 3, sedang kelompok 4 diperlukan 2 kalainan. Dari data tersebut diatas terlihat bahwa D-Dimer merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menentukan diagnosis KID.
    System skor KID didasarkan atas nilai uji laboratorium ke 4 kelompok tersebut diatas, ditambk keadaan klinis dan hemodinamik pasien. Nilai skor KID didapat dari hasil 100 di kurangi jumlah nilai seluruh kolom. Berdasarkan nilai skor maka sejak permulaan dapat ditentukan derajat beratnya KID.
    Kriteria derajat berat KID :
    1.      Skor > 90, KID tidak mungkin
    2.      Skor 75-89 KID ringan
    3.      Skor 50- 79 KID sedang
    4.      Skor < 49 KID berat
    Pemakaian system skor ini bermanfaat dalam perawatan pasien rutin untuk menilai manfaat pengobatan pada KID walaupun pencetusnya (penyakit dasarnya ) berbeda. Manfaat skor dalam menilai dan menentukan pengobatan:
    1.   Ada respon pengobatan.skor bertambah 10 atau lebih dalam 48 jam. KID ada perbaikan. N Pengobatan dengan anti koagulan diteruskan (Heparin atau AT III).
    2.   KID menetap. Kenaikan skor ≤ 9 selama 48 jam KID menetap. antikoagulan (Heparin, AT III) diteruskan.evaluasi 48 jam lagi.
    3.   Terapi gagal. Skor berkurang selama 72 jam. Antikoagulan dihentikan, demikian juga pengobatan subtitusi.

    PENATALAKSANAAN
    Penatalakasanaan KID yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya KID. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
    1.      Atasi penyakit primer yang menimbulkan DIC
    2.      Pemberian heparin. Heparin dapat diberikan 200 U/KgBB iv tiap 4-6 jam. Kenaikan kadar fibrinogen plasma nyata dalam 6-8 jam, setelah 24-48 jam sesudah mencapai harga normal.
    3.      Terapi pengganti. Darah atau PRC diberikan untuk mengganti darah yang keluar. Bila dalam pengobatan yang baik, jumlah trombosit tetap rendah dalam waktu sampai seminggu, berarti tetap mungkin terjadi perdarahan terus atau ulangan, sehingga dalam keadaan ini perlu diberikan platelet concentrate.
    4.      Obat penghambat fibrinolitik. Pemakaian Epsilon Amino Caproic Acid (EACA) atau asam traneksamat untuk menghambat fibrinolisis sama sekali tidak boleh dilakukan, karena akan menyebabkan trombosis. Bila perlu sekali, baru boleh diberikan sesudah heparin disuntikkan. Lama pengobatan tergantung dari perjalanan penyakit primernya. Bila penyakit primernya dapat diatasi cepat, misalnya komplikasi kehamilan dan sepsis, pengobatan DIC hanya perlu untuk 1-2 hari. Pada keganasan leukemia dan penyakit-penyakit lain dimana pengobatan tidak efektif, heparin perlu lebih lama diberikan. Pada keadaan ini sebaiknya diberikan heparin subkutan secara berkala. Antikoagulan lain jarang diberikan.Sodium warfarin kadang-kadang memberikan hasil baik.
    Mengenai pengobatan KID fulminan masih belum ada keseragaman dan kadang kontrofersial.hal ini disebabkan,sangat sukar untuk melakukan percobaan pengobatan klinis maupun penilaian hasil percobaan krna etiologi beragam dan beratnya KID juga bervariasi.dalam pengobatan pasien ada 2 prinsip yang perlu diperhatikan,(1) khusus:pengobatan KID bersifat individual atau kasus demi kasus,(2) umum:mengobati pembekuan darah dalam,dan mengatasi perdarahan.
    Walaupun masih controversial tetapi langkah pendekatan penatalaksanaan pada KID yang disepakati sekarang ini sebagai berikut:
    1.      Khusus pengobatan individu:mengatasi keadaan yang khusus dan yang mengamcam nyawa.
    2.      Bersifat umum:
    a.       Mengobati atau menghilangkan proses pencetus
    b.      Menghentikan proses patalogis pembekuan intravascular.
    c.       Terapi komponen atau substitusi
    d.      Menghentikan sisa fibrinolisis.
    Terapi Individu
    Berhubung banyak macam penyakit yang mencetuskan KID dan derajat penyakit maupun KID bervariasi,pengobatan kasus demi kasus perlu mendapat perhatian yang besar.Mungkin hanya dengan pendekatan pengobatan etiologi saja untuk satu pasien sudah cukup sedangpasien yang lain tidak.Atau pemberian heparin pada kasus yang stu sangat diperlukan,sebaiknya pada kasus yang lain sama sekali tidak.Jadi harus selalu dilihat pada setiap individu keuntungan dan keruggian suatu pengobatan.
    Pengobatan harus didasarkan atas eteologi KID,umur,keadaan hemodinamik,tempat dan beratnya pendarahan,tempat beratnya thrombus,dan gejala klinis yang ada hubungannya.
    a.    Pengobatan factor pencetus
    Pengobatan yang sangat penting pada KID fulminan yaitu mengobati secara progresif dan menghilangkan penyakit pencetus KID. Dengan mengobati factor pencetus, proses KID dapat dikurangi atau berhenti. Mengatasi renjatan, mengeluarkan janin mati, memberantai infeksi (sepsis), dan mengembalikan volume dapat menghentikan proses KID
    b.   Meghentikan koagulasi
    Menghentikan atau menghambat proses koagulasi dapat dapat dilakukan dengan memberikan antikoagulan misalkan heparin.
    Indikasi pemberian heparin:
    -       Bila penyakit dasar tidak dapat dihilangkan dalam waktu yang singkat
    -       Pasien yang masih disertai perdarahan walaupun penyakit dasar sudah dihilangkan. Hal ini karena KID sendiri menggangu proses koagulasi.
    -       Bila ada tanda/ditakutkan terjadi thrombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindrom gagal nafas.
    Cara pemberian heparin klasik pada KID dimulai dengan dosis permulaan 100-200π/kgBB intravena dan dosisi selanjutnya ditentukan berdasarkan APTT atau masa pembekuan (MP) yang diperiksa 2-3 jam sesudah pemberian heparin. Target APTT 1,5-2,5 kali control atau masa pembekuan (MP) 2-3 kali control. Bila APTT kurang dari 1,5 kali control atau MP kurang dari 2 kali control, dosis heparin dinaikkan. Bila lebih dari 2,5 kali APTT control atau MP lebih dari 3 kali control  maka diulang 2 jam. Kemudian bila APTT atau MP tetap lebih dari 2,5-3 kali control maka dosis dinaikkan sedangkan bila kurang, dosis diturunkan. Heparin diberikan tiap 4-6 jam dan dosis diberikan berkisar 20.000-30.000 µ/hari.
    c.    Terapi subtitusi
    Bila perdarahan masih berlangsung terus sesudah mengobati penyakit dasar dan sesudah pemberian antikoagulan kemungkinan penyebabnya adalah penurunan komponen darah yaitu kekurangan factor pembekuan. Untuk  ini dapat diberikan plasma beku segar (Fresh frozen plasma) atau kriopresipitat. Bila trombosit turun sampai 25.000 atau kurang pemberian trombosit konsentrat perlu diberikan.
     Antikogulan
    Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.
    Dosis heparin yang diberikan adalah 300 – 500 u/jam dalam infus kontinu.
    Indikasi:
    1. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
    2. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
    3. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas
    Dosis:
    100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol
    Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
     Plasma dan trombosit
    Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan hanya kepada pasien KID dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien KID terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
    Penghambat pembekuan (AT III)
    Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup mahal.
    Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%
    Dosis:
      Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3 – 5 hari.
      rumus:
    1. 1 iu x BB (kg) x ∆ AT III, dengan target AT III > 120%
    2. ∆ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
    Obat-obat antifibrinolitik
    Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya KID yang terjadi akan semakin berat.
    Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
    Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
    Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.
    KOMPLIKASI
    - Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
    - Penurunan fungsi ginjal
    - Gangguan susunan saraf pusat
    - Gangguan hati
    - Ulserasi mukosa gastrointestinal : perdarahan
    - Peningkatan enzyme jantung : ischemia, aritmia
    - Purpura fulminan
    - Insufisiensi adrenal
    - Lebih dari 50% mengalami kematian

0 komentar:

Posting Komentar